Maret 12, 2014

Pernikahan Mbak Jujuk



            Di desa kami, akan menjadi sebuah aib apabila seorang perempuan yang telah berusia 25 tahun, namun belum juga menikah. Perawan tua, itu predikat yang warga berikan kepada perempuan seperti itu. Kakakku sungguh “beruntung”, sejak beberapa tahun yang lalu dia sudah menyandang predikat perawan tua, dan masih setia menempel pada dirinya hingga saat ini.

            Di usianya yang mulai masuk kepala 3, kakakku sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda ingin menikah. Ia sama sekali tidak risih dengan predikat perawan tua yang disandangnya beberapa tahun terakhir. Justru yang ku lihat malah bapak dan emak yang terlihat risih dan juga risau akan keadaan ini. Bahkan belakangan, adik perempuanku juga ikut-ikutan seperti emak dan bapak, ikut-ikutan risau.
Aku tahu apa yang ada di pikiran adikku ini. Di usianya yang menginjak 22 tahun, ia sudah sangat ingin membina rumah tangga, melanjutkan perjalanan cintanya dengan Danang, lelaki yang sudah 3 tahun ini memacarinya. Tapi bagimana bisa jika kakakku belum juga menikah. Aku juga. Sementara, bagi warga kampung kami, sangat pantang jika seorang adik mendahului kakak perempuannya menikah. Pun jika sang kakak merestui. Takut kakaknya tidak laku, begitu kata para sesepuh.
Pagi ini, sepulang dari warung, ku lihat emak tidak seperti biasanya. Ia buru-buru masuk ke kamar, dan tak lama ku dengar beliau terisak. Di dapur, aku memberi tahu kakakku yang sedang memasak. Adikku tidak, karena dia memang sudah berangkat bekerja, di sebuah pabrik rokok di kota. Kakak beranjak, dan menyerahkan pekerjaan memasak kepadaku, kemudian dia masuk menemui emak.
“Ibu-ibu itu memang kurang ajar, berani-beraninya mereka menuduh Sri hamil hanya karena tubuh Sri yang semakin gendut!!” kata kakakku sekeluarnya dari kamar emak. Sri adalah nama adik perempuanku.
Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut jika ada gossip seperti itu berhembus. Pasalnya, Sri memang bertambah gendut. Tak hanya itu, warga pun juga sering melihat Danang menginap di rumah kami, walaupun kenyataannya Danang selalu tidur bersamaku ketika menginap. Tapi, orang lain juga tidak tahu kenyataan seperti itu, yang mereka tahu cuma Danang menginap dan pasti tidur bersama Sri. Ah, betapa piciknya mereka.
Ku lihat kakak tampak emosi, dia berjalan mondar-mandir di dapur, sementara emak masih di dalam kamar. Masih terisak, mungkin.
“To, kamu jaga emak, ya, aku mau ngasih pelajaran ke ibu-ibu itu!!” kata kakakku dengan penuh emosi. Oh, iya, To adalah nama panggilanku, nama lengkapku adalah Warsito dan kakakku bernama Jumiati, alias Jujuk.
“Sek to, Mbak, ojo emosi disek. Mengko wae, kita tunggu Sri pulang, kita tanyakan dulu ke anaknya,” aku berusaha menenangkannya.
“Tapi, To, kalau tidak segera diselesaikan, gossip ini nanti semakin lama akan semakin menyebar,” dia pun masih bersikeras.
“Wis to, Mbak, sabar dulu. Kita tunggu Sri pulang, kita tunggu juga bapak, nanti kalau kita bertindak gegabah, keluarga kita akan jadi bulan-bulanan warga lagi,” kakakku diam, sepertinya ia mulai memikirkan kata-kataku ini.
“Ya wis, kita tunggu penjelasan Sri dulu, aku mau nenangin emak, kamu lanjutin masakanku, yo,” kata Mbak Jujuk sambil beranjak kembali ke kamar emak.
###
Sehabis magrib, keluarga kami berkumpul, ditambah dengan Danang yang memang sengaja kami minta untuk datang.
Semua diam, Sri dan Danang tampak bingung dengan keadaan ini. Hanya aku, Mbak Jujuk, Emak, dan Bapak yang tahu, Bapak sendiri sudah diberitahu Emak dan Mbak Jujuk tadi siang, sepulangnya beliau dari sawah.
“Sri, juga kamu Nang, ada suatu hal yang mengganggu pikiran kami hari ini. Ini tentang kamu, Sri, dan mungkin ada sangkut pautnya sama kamu, Nang,” Bapak memulai pembicaraan, Sri dan Danang tampak semakin bingung.
“Ada apa to, Pak?” Tanya Sri.
“Begini, Nduk. Emakmu, tadi pagi mendengar ibu-ibu membicarakan kamu, mereka mikir kalau kamu itu sedang hamil, karena tubuhmu yang semakin gemuk itu. Mbak Yu-mu sebenarnya tadi sudah mau melabrak mereka, tapi Mas-mu minta supaya mendengar penjelasan kamu dulu, Nah, sekarang bapak tanya ke kamu, apa kamu benar-benar hamil seperti yang dituduhkan ibu-ibu itu?” Bapak menjelaskan dan bertanya dengan tenang sekali, sama sekali tidak emosi.
“Hahahaha…” Sri tertawa, “Oalah, Pak, Mak, gossip kok dipercaya, aku ndak hamil, sumpah demi Allah, ini saja aku lagi mens, hahaha,” jelas Sri sambil tertawa, bahkan sampai terpingkal-pingkal. Danang juga. Sementara kami melongo, dan kemudian ikut tertawa.
Akhirnya pembicaraan berakhir, semua gossip tidak benar, Sri tidak hamil.
###
Beberapa bulan berlalu, gosip mengenai Sri sudah menghilang. Tapi sekarang malah Sri yang galau. Beberapa hari yang lalu, dia diundang ke rumah Danang, orang tuanya bertanya kapan kira-kira Sri siap dilamar. Sri tidak mampu memberi kepastian. Padahal orang tua Danang sudah sangat ingin menimang cucu yang merupakan anak Danang.
Sri bimbang, keluarga Danang sudah mendesaknya, sementara keluargaku masih terus bersikeras agar kakakku yang lebih dulu menikah. Bimbangnya Sri mulai menjadikannya bersikap ketus pada Mbak Jujuk. Bukan tak beralasan, adikku itu berpikir kalau ia akan gagal menikah dengan Danang karena Mbak Jujuk yang tidak segera menikah.
Sebenarnya, sejak pulang dari Hongkong beberapa tahun lalu, banyak laki-laki yang ingin menikahi Mbak Jujuk. Mulai dari yang petani sampai polisi, bahkan politisi. Tapi, tak ada satu pun yang membuatnya luluh. Ketika ditanya, Mbak Jujuk selalu menjawab belum siap, belum sesuai, dan belum-belum yang lainnya.
#################
Sri semakin sentimen saja pada Mbak Jujuk. Aku dan emak tidak bisa berbuat banyak. Hanya bapak yang terlihat banyak berpikir, jika dia nekat menikahkan Sri sebelum Mbak Jujuk, bagaimana perasaan anak sulungnya itu? Seperti apa pula pandangan para tetangga terhadap keluarga kami??
"Pak, Jujuk mau bicara," Mbak Jujuk mendatangi Bapak yang sepertinya sedang melamun di teras.
"Bicara apa, Nduk?"
"Biarkan Sri menikah duluan, Pak," ucap Mbak Jujuk lugas. Bapak menghela nafas. Sementara Sri menguping dari balik dinding, tanpa diketahui Bapak dan juga Mbak Jujuk. Dia harap-harap cemas.
"Tidak bisa, Nduk, kamu yang harus menikah duluan!" Bapak tak kalah tegas. Di balik dinding, Sri menangis.
"Tapi kasihan Sri, Pak. Sampai kapan dia harus menunggu...??"
"Sampai kamu mau menikah!" jawab Bapak singkat dan tegas. Kemudian beliau beranjak, meninggalkan Mbak Jujuk yang bingung.
################
"Pak, Mak, Jujuk mau menikah," kata Mbak Jujuk tiba-tiba, mengejutkan aku, Bapak, Emak, dan juga Sri yang sedang asyik menonton sinetron.
"Kamu sudah ada calon?" tanya Bapak. Mbak Jujuk menggeleng.
"Jujuk manut Bapak mawon, Bapak saja yang mencarikan suami buat Jujuk. Seperti apa pun orangnya, Jujuk siap menerima."
"Ya wes, sudah ada orang yang melamar kamu, dia tinggal menunggu iya-mu saja selama ini. Jadi karena kamu sudah mengiyakan, berarti besok Bapak minta dia kemari sama keluarganya buat melamar kamu secara resmi," Bapak menjelaskan sesuatu yang membuat kami cukup kaget juga, apalagi Mbak Jujuk. Sementara Sri tampak berlinang airmata di pelukan Emak, airmata bahagia.
Keesokan harinya, suasana rumah kami tampak tidak seperti biasanya. Sibuk. Emak dan Sri sibuk memasak berbagai macam makanan untuk acara lamaran Mbak Jujuk nanti malam. Sementara, orang yang mau dilamar saja masih belum juga tampak batang hidungnya.
"To..." seru Mbak Jujuk memanggilku. Kebetulan aku sedang membersihkan ruang tamu.
"Ada apa, Mbak?" jawabku. Mbak Jujuk mendekatiku, di tangannya ada sebuah amplop, juga beberapa lembar uang puluhan ribu.
"To, minta tolong nge-pos-ke surat iki, yo, kilat khusus gitu," katanya sambil menyerahkan amplop dan uang itu.
Aku terima amplop itu, tertulis nama "Maryati" dan alamat yang sama sekali asing bagiku. Satu-satunya yang tidak asing adalah "Hong Kong" yang tertulis di akhir alamat si calon penerima. Ah, mungkin dia teman Mbak Jujuk sewaktu bekerja di Hong Kong dulu.
"Wes, ojo didelok wae, buruan bawa ke kantor pos, biar gaweanmu aku yang nerusin," kata Mbak Jujuk.
"Injeh, Mbak calon manten," jawabku bercanda, kemudian beranjak mengambil motor tanpa berganti baju, bahkan mandi.
"Heh, adus sek!!" seru kakakku. Tidak ku dengar.
Malam harinya, acara lamaran berlangsung lancar. Calon kakak iparku bernama Eko Cahyono, umurnya setahun lebih tua dari Mbak Jujuk. Kata orang tuanya, dia itu punya toko yang lumayan laris. Oh ya, dia juga tampan, meskipun masih kalah dari Danang, dan pastinya jauh lebih tampan dari aku. Hehehe...
Sesuai kesepakatan dan hitung-hitungan weton, pernikahan akan digelar dua bulan lagi. Cukup akad nikah dan resepsi sederhana saja, itu juga kesepakatan kedua keluarga. Semua tampak gembira, Sri apalagi, sebentar lagi impiannya bakal terwujud. Tapi raut berbeda ku lihat dari wajah kakakku, ada kesedihan di wajahnya, meskipun ditutupi dengan senyuman.
#################
Akhirnya, besok ijab kabul sekaligus syukuran pernikahan kakakku digelar. Rumah kami mendadak jadi ramai. Tetangga berdatangan sekedar untuk membantu memasak dan lain-lain. Keluarga jauh kami juga berdatangan. Mereka semua ikut senang dengan pernikahan ini.
"Kula nuwun," itu suara Rohmat, anak tetanggaku. Dia sudah ada di depan pintu bersama seorang lelaki kurus dengan tas besar di punggungnya. Penampilannya cukup "berandal" dengan celana jins sobek-sobek, kaos oblong, dan topi. Tapi wajahnya cukup tampan.
"Ana apa, Mat?" Tanyaku.
"Niki, Mas, wonten ingkang madhosi Mbak Juk," jelas Rohmat.
"Oalah, mangga mas pinarak mlebet," ku undang lelaki itu masuk, "suwun yo, Mat."
"Injih, Mas, pareng," Rohmat undur diri.
"Matur nuwun, ya, dik," lelaki itu mengucapkan terima kasih pada Rohmat. Tunggu, suara itu bukan suara lelaki, suaranya cempreng, seperti suara perempuan.
"Mar..." suara Mbak Jujuk, dia tiba-tiba muncul di belakangku.
"Juk..." sahut perempuan yang ku kira lelaki itu. Keduanya mendekat dan berpelukan. Lalu menangis.
Aku jadi bingung.
################
Maryati, ternyata perempuan yang berdandan seperti lelaki itu bernama Maryati. Maryati yang dua bulan lalu dikirimi surat kakakku. Dia adalah teman kakakku sewaktu di Hong Kong. Katanya, dia sengaja ambil cuti demi pernikahan kakakku. Terbayangkan betapa dekatnya persahabatan mereka.
Sementara itu, Sri dan beberapa tetangga dan keluargaku malah nggojloki aku supaya aku mendekati Maryati. Mereka beranggapan kalau Maryati itu cantik, walaupun dandanannya seperti laki-laki. Aku digojloki seperti itu jadi salang tingkah sendiri.
Hari sudah hampir subuh, Emak, Bapak, Sri, dan aku sudah bangun dari jam 2 tadi, kami memastikan semua sudah siap untuk acara ijab kabul dan syukuran jam 9 pagi nanti. Beberapa keluargaku yang lain juga masih tidur, berjejer di lantai, persis seperti ikan pindang.
"Sri, mbak yu-mu gugahen, kon ndang adus, mengko nek krinan, lho," perintah Emak pada Sri.
"Aku malu, Mak, sama temennya itu," Sri menolak.
"Wis to, ndang gugahen! To, antar adikmu itu, gawean nggugah uwong ae kok kudu wong loro," Emak menggerutu.
Sri berjalan menuju kamar Mbak Jujuk, aku membuntutinya, dalam hati pasti ia ngresula. Aku juga, tapi tak kami ungkapkan karena bisa bikin emak mbranggang sepanjang pagi.
Kelambu kamar kakakku dibuka (kamar di rumah kami tidak berpintu, hanya kelambu). Sri dan aku diam, mata kami melongo. Di atas ranjang, dua wanita sedang telanjang bulat, rambut mereka acak-acakan. Satu orang berbaring, kakinya mengangkang, sementara muka satu orang lainnya terbenam di selakangan wanita yang mengangkang itu.
Wanita yang mengangkangkan kakinya itu Mbak Jujuk, kakakku. Dan yang wajahnya terbenam di selakangan Mbak Yu-ku itu Maryati.
Aku dan Sri mematung. Dua wanita itu juga.
Sekarang aku dan Sri tahu alasan kakak kami tidak mau menikah selama ini...


27 November 2013, 15:29.
Di kamar pengap. Ditemani suara geluduk.

1 komentar:

  1. Wow...dr awal udah curiga kalo mbak Jujuk L. Tapi seru ceritanya...hehehe

    BalasHapus

Don't be a silent reader, leave your footprints here :-D siapa tau jodoh :-P