Di
desa kami, akan menjadi sebuah aib apabila seorang perempuan yang telah berusia
25 tahun, namun belum juga menikah. Perawan tua, itu predikat yang warga
berikan kepada perempuan seperti itu. Kakakku sungguh “beruntung”, sejak beberapa
tahun yang lalu dia sudah menyandang predikat perawan tua, dan masih setia
menempel pada dirinya hingga saat ini.
Di
usianya yang mulai masuk kepala 3, kakakku sama sekali belum menunjukkan
tanda-tanda ingin menikah. Ia sama sekali tidak risih dengan predikat perawan
tua yang disandangnya beberapa tahun terakhir. Justru yang ku lihat malah bapak
dan emak yang terlihat risih dan juga risau akan keadaan ini. Bahkan
belakangan, adik perempuanku juga ikut-ikutan seperti emak dan bapak,
ikut-ikutan risau.
Aku tahu apa yang ada
di pikiran adikku ini. Di usianya yang menginjak 22 tahun, ia sudah sangat
ingin membina rumah tangga, melanjutkan perjalanan cintanya dengan Danang,
lelaki yang sudah 3 tahun ini memacarinya. Tapi bagimana bisa jika kakakku
belum juga menikah. Aku juga. Sementara, bagi warga kampung kami, sangat
pantang jika seorang adik mendahului kakak perempuannya menikah. Pun jika sang kakak merestui.
Takut kakaknya tidak laku, begitu kata para sesepuh.
Pagi ini, sepulang dari
warung, ku lihat emak tidak seperti biasanya. Ia buru-buru masuk ke kamar, dan
tak lama ku dengar beliau terisak. Di dapur, aku memberi tahu kakakku yang
sedang memasak. Adikku tidak, karena dia memang sudah berangkat bekerja, di
sebuah pabrik rokok di kota. Kakak beranjak, dan menyerahkan pekerjaan memasak
kepadaku, kemudian dia masuk menemui emak.
“Ibu-ibu itu memang
kurang ajar, berani-beraninya mereka menuduh Sri hamil hanya karena tubuh Sri
yang semakin gendut!!” kata kakakku sekeluarnya dari kamar emak. Sri adalah nama
adik perempuanku.
Sebenarnya aku tidak
terlalu terkejut jika ada gossip seperti itu berhembus. Pasalnya, Sri memang
bertambah gendut. Tak hanya itu, warga pun juga sering melihat Danang menginap
di rumah kami, walaupun kenyataannya Danang selalu tidur bersamaku ketika
menginap. Tapi, orang lain juga tidak tahu kenyataan seperti itu, yang mereka
tahu cuma Danang menginap dan pasti tidur bersama Sri. Ah, betapa piciknya
mereka.
Ku lihat kakak tampak
emosi, dia berjalan mondar-mandir di dapur, sementara emak masih di dalam
kamar. Masih terisak, mungkin.
“To, kamu jaga emak,
ya, aku mau ngasih pelajaran ke ibu-ibu itu!!” kata kakakku dengan penuh emosi.
Oh, iya, To adalah nama panggilanku, nama lengkapku adalah Warsito dan kakakku
bernama Jumiati, alias Jujuk.
“Sek to, Mbak, ojo
emosi disek. Mengko wae, kita tunggu Sri pulang, kita tanyakan dulu ke
anaknya,” aku berusaha menenangkannya.
“Tapi, To, kalau tidak
segera diselesaikan, gossip ini nanti semakin lama akan semakin menyebar,” dia
pun masih bersikeras.
“Wis to, Mbak, sabar
dulu. Kita tunggu Sri pulang, kita tunggu juga bapak, nanti kalau kita
bertindak gegabah, keluarga kita akan jadi bulan-bulanan warga lagi,” kakakku
diam, sepertinya ia mulai memikirkan kata-kataku ini.
“Ya wis, kita tunggu
penjelasan Sri dulu, aku mau nenangin emak, kamu lanjutin masakanku, yo,” kata
Mbak Jujuk sambil beranjak kembali ke kamar emak.
###
Sehabis magrib,
keluarga kami berkumpul, ditambah dengan Danang yang memang sengaja kami minta
untuk datang.
Semua diam, Sri dan
Danang tampak bingung dengan keadaan ini. Hanya aku, Mbak Jujuk, Emak, dan
Bapak yang tahu, Bapak sendiri sudah diberitahu Emak dan Mbak Jujuk tadi siang,
sepulangnya beliau dari sawah.
“Sri, juga kamu Nang,
ada suatu hal yang mengganggu pikiran kami hari ini. Ini tentang kamu, Sri, dan
mungkin ada sangkut pautnya sama kamu, Nang,” Bapak memulai pembicaraan, Sri
dan Danang tampak semakin bingung.
“Ada apa to, Pak?”
Tanya Sri.
“Begini, Nduk. Emakmu,
tadi pagi mendengar ibu-ibu membicarakan kamu, mereka mikir kalau kamu itu
sedang hamil, karena tubuhmu yang semakin gemuk itu. Mbak Yu-mu sebenarnya tadi
sudah mau melabrak mereka, tapi Mas-mu minta supaya mendengar penjelasan kamu
dulu, Nah, sekarang bapak tanya ke kamu, apa kamu benar-benar hamil seperti
yang dituduhkan ibu-ibu itu?” Bapak menjelaskan dan bertanya dengan tenang
sekali, sama sekali tidak emosi.
“Hahahaha…” Sri
tertawa, “Oalah, Pak, Mak, gossip kok dipercaya, aku ndak hamil, sumpah demi
Allah, ini saja aku lagi mens, hahaha,” jelas Sri sambil tertawa, bahkan sampai
terpingkal-pingkal. Danang juga. Sementara kami melongo, dan kemudian ikut
tertawa.
Akhirnya pembicaraan
berakhir, semua gossip tidak benar, Sri tidak hamil.
###
Beberapa bulan berlalu,
gosip mengenai Sri sudah menghilang. Tapi sekarang malah Sri yang galau.
Beberapa hari yang lalu, dia diundang ke rumah Danang, orang tuanya bertanya
kapan kira-kira Sri siap dilamar. Sri tidak mampu memberi kepastian. Padahal
orang tua Danang sudah sangat ingin menimang cucu yang merupakan anak Danang.
Sri
bimbang, keluarga Danang sudah mendesaknya, sementara keluargaku masih terus
bersikeras agar kakakku yang lebih dulu menikah. Bimbangnya Sri mulai
menjadikannya bersikap ketus pada Mbak Jujuk. Bukan tak beralasan, adikku itu
berpikir kalau ia akan gagal menikah dengan Danang karena Mbak Jujuk yang tidak
segera menikah.
Sebenarnya,
sejak pulang dari Hongkong beberapa tahun lalu, banyak laki-laki yang ingin
menikahi Mbak Jujuk. Mulai dari yang petani sampai polisi, bahkan politisi.
Tapi, tak ada satu pun yang membuatnya luluh. Ketika ditanya, Mbak Jujuk selalu
menjawab belum siap, belum sesuai, dan belum-belum yang lainnya.
#################
Sri
semakin sentimen saja pada Mbak Jujuk. Aku dan emak tidak bisa berbuat banyak.
Hanya bapak yang terlihat banyak berpikir, jika dia nekat menikahkan Sri
sebelum Mbak Jujuk, bagaimana perasaan anak sulungnya itu? Seperti apa pula
pandangan para tetangga terhadap keluarga kami??
"Pak,
Jujuk mau bicara," Mbak Jujuk mendatangi Bapak yang sepertinya sedang
melamun di teras.
"Bicara
apa, Nduk?"
"Biarkan
Sri menikah duluan, Pak," ucap Mbak Jujuk lugas. Bapak menghela nafas.
Sementara Sri menguping dari balik dinding, tanpa diketahui Bapak dan juga Mbak
Jujuk. Dia harap-harap cemas.
"Tidak
bisa, Nduk, kamu yang harus menikah duluan!" Bapak tak kalah tegas. Di
balik dinding, Sri menangis.
"Tapi
kasihan Sri, Pak. Sampai kapan dia harus menunggu...??"
"Sampai
kamu mau menikah!" jawab Bapak singkat dan tegas. Kemudian beliau
beranjak, meninggalkan Mbak Jujuk yang bingung.
################
"Pak,
Mak, Jujuk mau menikah," kata Mbak Jujuk tiba-tiba, mengejutkan aku,
Bapak, Emak, dan juga Sri yang sedang asyik menonton sinetron.
"Kamu
sudah ada calon?" tanya Bapak. Mbak Jujuk menggeleng.
"Jujuk
manut Bapak mawon, Bapak saja yang mencarikan suami buat Jujuk. Seperti apa pun
orangnya, Jujuk siap menerima."
"Ya
wes, sudah ada orang yang melamar kamu, dia tinggal menunggu iya-mu saja selama
ini. Jadi karena kamu sudah mengiyakan, berarti besok Bapak minta dia kemari
sama keluarganya buat melamar kamu secara resmi," Bapak menjelaskan
sesuatu yang membuat kami cukup kaget juga, apalagi Mbak Jujuk. Sementara Sri
tampak berlinang airmata di pelukan Emak, airmata bahagia.
Keesokan
harinya, suasana rumah kami tampak tidak seperti biasanya. Sibuk. Emak dan Sri
sibuk memasak berbagai macam makanan untuk acara lamaran Mbak Jujuk nanti
malam. Sementara, orang yang mau dilamar saja masih belum juga tampak batang
hidungnya.
"To..."
seru Mbak Jujuk memanggilku. Kebetulan aku sedang membersihkan ruang tamu.
"Ada
apa, Mbak?" jawabku. Mbak Jujuk mendekatiku, di tangannya ada sebuah
amplop, juga beberapa lembar uang puluhan ribu.
"To,
minta tolong nge-pos-ke surat iki, yo, kilat khusus gitu," katanya sambil
menyerahkan amplop dan uang itu.
Aku
terima amplop itu, tertulis nama "Maryati" dan alamat yang sama
sekali asing bagiku. Satu-satunya yang tidak asing adalah "Hong Kong"
yang tertulis di akhir alamat si calon penerima. Ah, mungkin dia teman Mbak
Jujuk sewaktu bekerja di Hong Kong dulu.
"Wes,
ojo didelok wae, buruan bawa ke kantor pos, biar gaweanmu aku yang
nerusin," kata Mbak Jujuk.
"Injeh,
Mbak calon manten," jawabku bercanda, kemudian beranjak mengambil motor
tanpa berganti baju, bahkan mandi.
"Heh,
adus sek!!" seru kakakku. Tidak ku dengar.
Malam
harinya, acara lamaran berlangsung lancar. Calon kakak iparku bernama Eko
Cahyono, umurnya setahun lebih tua dari Mbak Jujuk. Kata orang tuanya, dia itu
punya toko yang lumayan laris. Oh ya, dia juga tampan, meskipun masih kalah
dari Danang, dan pastinya jauh lebih tampan dari aku. Hehehe...
Sesuai
kesepakatan dan hitung-hitungan weton, pernikahan akan digelar dua bulan lagi.
Cukup akad nikah dan resepsi sederhana saja, itu juga kesepakatan kedua
keluarga. Semua tampak gembira, Sri apalagi, sebentar lagi impiannya bakal
terwujud. Tapi raut berbeda ku lihat dari wajah kakakku, ada kesedihan di
wajahnya, meskipun ditutupi dengan senyuman.
#################
Akhirnya,
besok ijab kabul sekaligus syukuran pernikahan kakakku digelar. Rumah kami
mendadak jadi ramai. Tetangga berdatangan sekedar untuk membantu memasak dan
lain-lain. Keluarga jauh kami juga berdatangan. Mereka semua ikut senang dengan
pernikahan ini.
"Kula
nuwun," itu suara Rohmat, anak tetanggaku. Dia sudah ada di depan pintu
bersama seorang lelaki kurus dengan tas besar di punggungnya. Penampilannya
cukup "berandal" dengan celana jins sobek-sobek, kaos oblong, dan
topi. Tapi wajahnya cukup tampan.
"Ana
apa, Mat?" Tanyaku.
"Niki,
Mas, wonten ingkang madhosi Mbak Juk," jelas Rohmat.
"Oalah,
mangga mas pinarak mlebet," ku undang lelaki itu masuk, "suwun yo,
Mat."
"Injih,
Mas, pareng," Rohmat undur diri.
"Matur
nuwun, ya, dik," lelaki itu mengucapkan terima kasih pada Rohmat. Tunggu,
suara itu bukan suara lelaki, suaranya cempreng, seperti suara perempuan.
"Mar..."
suara Mbak Jujuk, dia tiba-tiba muncul di belakangku.
"Juk..."
sahut perempuan yang ku kira lelaki itu. Keduanya mendekat dan berpelukan. Lalu
menangis.
Aku
jadi bingung.
################
Maryati,
ternyata perempuan yang berdandan seperti lelaki itu bernama Maryati. Maryati
yang dua bulan lalu dikirimi surat kakakku. Dia adalah teman kakakku sewaktu di
Hong Kong. Katanya, dia sengaja ambil cuti demi pernikahan kakakku.
Terbayangkan betapa dekatnya persahabatan mereka.
Sementara
itu, Sri dan beberapa tetangga dan keluargaku malah nggojloki aku supaya aku
mendekati Maryati. Mereka beranggapan kalau Maryati itu cantik, walaupun
dandanannya seperti laki-laki. Aku digojloki seperti itu jadi salang tingkah
sendiri.
Hari
sudah hampir subuh, Emak, Bapak, Sri, dan aku sudah bangun dari jam 2 tadi,
kami memastikan semua sudah siap untuk acara ijab kabul dan syukuran jam 9 pagi
nanti. Beberapa keluargaku yang lain juga masih tidur, berjejer di lantai,
persis seperti ikan pindang.
"Sri,
mbak yu-mu gugahen, kon ndang adus, mengko nek krinan, lho," perintah Emak
pada Sri.
"Aku
malu, Mak, sama temennya itu," Sri menolak.
"Wis
to, ndang gugahen! To, antar adikmu itu, gawean nggugah uwong ae kok kudu wong
loro," Emak menggerutu.
Sri
berjalan menuju kamar Mbak Jujuk, aku membuntutinya, dalam hati pasti ia ngresula. Aku juga, tapi tak kami
ungkapkan karena bisa bikin emak mbranggang sepanjang pagi.
Kelambu
kamar kakakku dibuka (kamar di rumah kami tidak berpintu, hanya kelambu). Sri
dan aku diam, mata kami melongo. Di atas ranjang, dua wanita sedang telanjang
bulat, rambut mereka acak-acakan. Satu orang berbaring, kakinya mengangkang,
sementara muka satu orang lainnya terbenam di selakangan wanita yang
mengangkang itu.
Wanita
yang mengangkangkan kakinya itu Mbak Jujuk, kakakku. Dan yang wajahnya terbenam di
selakangan Mbak Yu-ku itu Maryati.
Aku
dan Sri mematung. Dua wanita itu juga.
Sekarang
aku dan Sri tahu alasan kakak kami tidak mau menikah selama ini...
27
November 2013, 15:29.
Di
kamar pengap. Ditemani suara geluduk.
Wow...dr awal udah curiga kalo mbak Jujuk L. Tapi seru ceritanya...hehehe
BalasHapus