Maret 12, 2014

Umi


Mana calon istrimu?
Kenapa tak segera kau kenalkan sama Umi?
Oh ya, kalau kamu menikah nanti, kamu mau tinggal di mana?
Di sini? Atau tidak di sini?
Terus, kalau kau tak mau tinggal di sini, Umi bagaimana? Ikut kamu?
Atau Umi akan kau tinggalkan sendiri di sini?
Pertanyaan-pertanyaan itu sering kuutarakan pada anakku. Laki-laki. Bungsu. 27 tahun. Dan dia pun hanya akan menjawab pertanyaan yang terakhir, Umi tak perlu khawatir, aku akan menemani Umi terus, begitu jawabnya. Selalu sama.
Bungsuku ini sangat berbeda dengan kakak-kakaknya. Dulu, di usia segitu, kakak-kakaknya sudah bingung minta diantar melamar anak orang. Sementara dia? Tak pernah sekalipun ia mengenalkan seorang gadis pun sebagai pacarnya. Paling cuma beberapa sahabat perempuannya yang memang sudah cukup lama kukenal. Selebihnya, hanya teman laki-laki yang datang ke rumah, sekedar menjemputnya untuk pergi, atau menginap di kamarnya.
Beberapa hari yang lalu, adik ku yang ada di Medan bilang padaku bahwa ia ingin berbesanan denganku. Itu artinya si bungsuku diminta untuk menikahi sepupunya sendiri. Dia diam. Tak seperti biasanya yang dengan tegas akan memberi jawaban "tidak". Ya, dia memang sangat anti dengan yang namanya perjodohan. Sebelum ini, dia pun sempat bertengkar dengan Si Sulung yang ingin menjodohkannya dengan seorang gadis. Dia menolak.
Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Hampir semua teman-teman seusianya sudah menikah. Tapi dia membahas pernikahan saja seperti ogah-ogahan. Ah, aku harap dia tahu keinginan Umi-nya yang sudah renta ini, melihatnya menikah dengan seorang gadis sebelum aku kembali pada Tuhan.
•••
Mana calon istrimu?
Kenapa tak segera kau kenalkan sama Umi?
Oh ya, kalau kamu menikah nanti, kamu mau tinggal di mana?
Di sini? Atau tidak di sini?
Terus, kalau kau tak mau tinggal di sini, Umi bagaimana? Ikut kamu?
Atau Umi akan kau tinggalkan sendiri di sini?
Pertanyaan-pertanyaan macam ini selalu mengusikku, apalagi jika Umi yang bertanya. Selalu sukses membuatku insomnia.
Kapan menikah? Kapan? Kapan? Kapan?
Hampir semua orang yang ku kenal pernah menanyakan hal itu padaku. Kepo. Suka ikut campur. Aku tak suka. Dan aku bosan dengan pertanyaan macam itu.
Beberapa hari yang lalu, Umi bilang kalau Om-ku yang di Medan menginginkanku jadi menantunya. Suami anaknya, sepupuku. Aku diam. Tak mengiyakan, juga tak menolak. Tapi aku bingung, aku harus segera menjawabnya. Aku bosan. Ini sudah entah keberapa kalinya aku dijodohkan. Dan aku tak suka.
Menikah, bagi orang lain adalah jalan untuk bahagia dan saling membahagiakan. Tapi tidak untukku. Bagiku pernikahan dengan seorang gadis itu seperti mimpi buruk. Pernikahan itu tidak akan membahagiakanku, justru menekanku. Dan jika aku sendiri tidak bahagia, apa bisa aku membahagiakan wanita yang menjadi istriku? Aku tidak tahu. Aku bingung.
Umi termenung, duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu rumah kami. Menatap jauh ke luar jendela. Jauh. Melamun. Dan aku tahu, aku dalam lamunannya.
•••
Bungsuku tiba-tiba datang. Bersimpuh di depanku, kemudian membenamkan wajahnya di pangkuanku. Tak lama tubuhnya bergetar, ia menangis. Ada apa ini? Kenapa kau menangis, anakku?
•••
Aku menangis di pangkuan Umi.
Umi, maaf aku harus jujur. Aku ingin bahagia, bahagia dengan jati diriku, bahagia dengan pilihan hidupku.
Umi, maaf aku mengecewakanmu.

*ditulis di selembar kertas A4 bekas, sebelum jum'atan. Dan diketik sehabis maghrib. 271213*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Don't be a silent reader, leave your footprints here :-D siapa tau jodoh :-P