Mana calon istrimu?
Kenapa tak segera kau kenalkan
sama Umi?
Oh ya, kalau kamu menikah nanti,
kamu mau tinggal di mana?
Di sini? Atau tidak di sini?
Terus, kalau kau tak mau tinggal
di sini, Umi bagaimana? Ikut kamu?
Pertanyaan-pertanyaan
itu sering kuutarakan pada anakku. Laki-laki. Bungsu. 27 tahun. Dan dia pun
hanya akan menjawab pertanyaan yang terakhir, Umi tak perlu khawatir, aku
akan menemani Umi terus, begitu jawabnya. Selalu sama.
Bungsuku
ini sangat berbeda dengan kakak-kakaknya. Dulu, di usia segitu, kakak-kakaknya
sudah bingung minta diantar melamar anak orang. Sementara dia? Tak pernah
sekalipun ia mengenalkan seorang gadis pun sebagai pacarnya. Paling cuma
beberapa sahabat perempuannya yang memang sudah cukup lama kukenal. Selebihnya,
hanya teman laki-laki yang datang ke rumah, sekedar menjemputnya untuk pergi,
atau menginap di kamarnya.
Beberapa
hari yang lalu, adik ku yang ada di Medan bilang padaku bahwa ia ingin berbesanan
denganku. Itu artinya si bungsuku diminta untuk menikahi sepupunya sendiri. Dia
diam. Tak seperti biasanya yang dengan tegas akan memberi jawaban
"tidak". Ya, dia memang sangat anti dengan yang namanya perjodohan.
Sebelum ini, dia pun sempat bertengkar dengan Si Sulung yang ingin
menjodohkannya dengan seorang gadis. Dia menolak.
Aku tak
tahu apa yang ada di pikirannya. Hampir semua teman-teman seusianya sudah
menikah. Tapi dia membahas pernikahan saja seperti ogah-ogahan. Ah, aku harap
dia tahu keinginan Umi-nya yang sudah renta ini, melihatnya menikah dengan
seorang gadis sebelum aku kembali pada Tuhan.
•••
Mana calon istrimu?
Kenapa tak segera kau kenalkan
sama Umi?
Oh ya, kalau kamu menikah nanti,
kamu mau tinggal di mana?
Di sini? Atau tidak di sini?
Terus, kalau kau tak mau tinggal
di sini, Umi bagaimana? Ikut kamu?
Atau Umi akan kau tinggalkan
sendiri di sini?
Pertanyaan-pertanyaan
macam ini selalu mengusikku, apalagi jika Umi yang bertanya. Selalu sukses
membuatku insomnia.
Kapan menikah? Kapan? Kapan?
Kapan?
Hampir
semua orang yang ku kenal pernah menanyakan hal itu padaku. Kepo. Suka
ikut campur. Aku tak suka. Dan aku bosan dengan pertanyaan macam itu.
Beberapa
hari yang lalu, Umi bilang kalau Om-ku yang di Medan menginginkanku jadi
menantunya. Suami anaknya, sepupuku. Aku diam. Tak mengiyakan, juga tak
menolak. Tapi aku bingung, aku harus segera menjawabnya. Aku bosan. Ini sudah
entah keberapa kalinya aku dijodohkan. Dan aku tak suka.
Menikah,
bagi orang lain adalah jalan untuk bahagia dan saling membahagiakan. Tapi tidak
untukku. Bagiku pernikahan dengan seorang gadis itu seperti mimpi buruk.
Pernikahan itu tidak akan membahagiakanku, justru menekanku. Dan jika aku
sendiri tidak bahagia, apa bisa aku membahagiakan wanita yang menjadi istriku?
Aku tidak tahu. Aku bingung.
Umi
termenung, duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu rumah kami. Menatap jauh
ke luar jendela. Jauh. Melamun. Dan aku tahu, aku dalam lamunannya.
•••
Bungsuku
tiba-tiba datang. Bersimpuh di depanku, kemudian membenamkan wajahnya di
pangkuanku. Tak lama tubuhnya bergetar, ia menangis. Ada apa ini? Kenapa kau
menangis, anakku?
•••
Aku menangis di pangkuan Umi.
Umi, maaf aku harus jujur. Aku
ingin bahagia, bahagia dengan jati diriku, bahagia dengan pilihan hidupku.
Umi, maaf aku mengecewakanmu.
*ditulis di selembar kertas A4
bekas, sebelum jum'atan. Dan diketik sehabis maghrib. 271213*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Don't be a silent reader, leave your footprints here :-D siapa tau jodoh :-P